Jl. Kutilang 9/11 Perum GKA, Gresik-Jawa timur Telp.031-3957653, 08113514057

Kapur Sirih


Kami hadir untuk membantu para pengusaha memahami Pajak dan akuntansi untuk meningkatkan kinerja usahanya dan kesejahteraan pekerja dimasa datang. Disitus ini, kami akan coba memberikan informasi tentang pajak dan akuntansi yang bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan anda dan kami juga melayani konsultasi gratis lewat chatting maupun email ke talk.joko@gmail.com.

Bagi anda yang terlalu sibuk mengurusi bisnis, anda juga dapat menyerahkan pekerjaan-pekerjaan di bidang pajak dan akuntansi kepada kami dengan harga yang terjangkau (sesusai kemampuan perusahaan anda). Pada prinsipnya kami hadir untuk saling membantu dan berbagi pengetahuan.

Chat With Me

Kolom Pajak


REVISI PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN

Berikut beberapa PSAK yang telah dirivisi, disesuaikan dengan IFRS yang harus diterapkan mulai tahun 2010 dan tahun 2011.
  • PSAK No. 50 (Revisi 2006), mengenai “Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan”.
    Standar ini digunakan untuk klasifikasi atas instrumen keuangan dari prospektif penerbitnya, dalam aset keuangan, kewajiban keuangan dan instrumen ekuitas; pengklasifikasian yang terkait dengan suku bunga, dividen, kerugian dan keuntungan; dan keadaan dimana aset keuangan dan kewajiban keuangan akan saling hapus. PSAK No. 50 (Revisi 2006) melengkapi ketentuan pengakuan dan pengukuran asset keuangan dan kewajiban keuangan yang diatur pada PSAK No. 55 (Revisi 2006). DSAK menunda pemberlakuan PSAK No. 50 (Revisi 2006) hingga 1 Januari 2010.
  • PSAK No. 55 (Revisi 2006), mengenai “Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran”.
    PSAK No. 55 (Revisi 2006) memberikan pedoman pengakuan, pengukuran, dan penghentian pengakuan aset keuangan dan kewajiban keuangan termasuk instrumen derivatif. Standar tersebut juga memberikan pedoman pengakuan dan pengukuran kontrak penjualan dan pembelian item non-keuangan. DSAK menunda pemberlakuan PSAK No. 55 (Revisi 2006) hingga 1 Januari 2010.
  • PSAK No. 26 (Revisi 2008), mengenai “Biaya Pinjaman”.
    Standar ini memberikan pedoman terkait dengan kapitalisasi biaya pinjaman sebagai bagian dari biaya perolehan suatu aset. PSAK No. 26 (Revisi 2008) mengharuskan biaya pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan, konstruksi, atau pembuatan suatu asset kualifikasian untuk dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya perolehan aset tersebut. PSAK No. 26 (Revisi 2008) efektif berlaku sejak 1 Januari 2010.
  • PSAK No. 1 (Revisi 2009), mengenai “Penyajian Laporan Keuangan”.
    PSAK No. 1 (Revisi 2009) menentukan dasar-dasar bagi penyajian laporan keuangan bertujuan umum, agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas lain. PSAK No. 1 (Revisi 2009) mengatur persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, persyaratan minimum isi laporan keuangan dan mengharuskan Perusahaan untuk menerbitkan laporan keuangan yang lengkap yang terdiri dari Laporan Posisi Keuangan, Laporan Laba Komprehensif, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, Catatan atas Laporan Keuangan yang berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya, Laporan Posisi Keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya. PSAK No. 1 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011. Penerapan lebih dini dianjurkan.
  • PSAK No. 2 (Revisi 2009), mengenai “Laporan Arus Kas”.
    PSAK No. 2 (Revisi 2009) menyediakan pedoman spesifik dalam menyusun Laporan Arus Kas. PSAK No. 2 (Revisi 2009) mengharuskan Perusahaan untuk memberikan informasi mengenai perubahan-perubahan historis terkait kas dan setara kas yang diklasifikasikan kedalam aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan. PSAK No. 2 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011.
  • PSAK No. 4 (Revisi 2009), mengenai “Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri”
    Standar ini menitikberatkan relevansi, keandalan dan komparabilitas informasi yang disajikan Perusahaan dalam laporan keuangan konsolidasi dan laporan keuangan tersendiri. Menurut PSAK No. 4 (Revisi 2009), kepentingan non pengendali (yang sebelumnya disebut hak minoritas) harus disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan dalam bagian ekuitas, terpisah dari ekuitas pemilik entitas induk. Pada saat perusahaan membuat laporan keuangan tersendiri, investasi pada anak perusahaan harus dicatat pada biaya perolehan sesuai dengan PSAK No. 4 (Revisi 2009). PSAK No. 4 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011.
  • PSAK No. 5 (Revisi 2009), mengenai “Segmen Operasi”.
    PSAK No. 5 (Revisi 2009) mensyaratkan Perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang memungkinkan para pengguna laporan keuangan konsolidasi untuk mengevaluasi sifat dan dampak keuangan dari aktivitas bisnis. PSAK No. 5 (Revisi 2009) memperluas definisi segmen operasi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi dan melaporkan segmen operasi. PSAK No. 5 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Penerapan lebih dini diperkenankan.
  • PSAK No. 10 (Revisi 2009), mengenai “Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Asing”.
    PSAK No. 10 (Revisi 2009) memperluas definisi mata uang fungsional dan factor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan mata uang fungsional dari suatu entitas serta memberikan pedoman dalam pelaporan transaksi-transaksi dalam mata uang asing, penjabaran pada mata uang penyajian, dan penjabaran kegiatan usaha luar negeri. Dalam penjabaran kegiatan usaha luar negeri, goodwill yang timbul dari akuisisi kegiatan usaha luar negeri dan setiap penyesuaian nilai wajar pada nilai tercatat aset dan kewajiban untuk dinyatakan dalam mata uang fungsional dan dijabarkan dalam kurs penutupan. PSAK No. 10 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011.
  • PSAK No. 12 (Revisi 2009), mengenai “Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama”.
    PSAK No. 12 (Revisi 2009) memberikan pedoman dalam akuntansi dan pelaporan kepemilikan dalam ventura bersama dalam laporan keuangan venturer. Venturer harus mengakui bagian partisipasinya dalam pengendalian bersama aset dalam laporan keuangannya. Venturer harus mengakui aset yang dikendalikan, kewajiban dan beban yang timbul dan bagian pendapatan dalam laporan keuangannya dalam pengendalian bersama operasi. Venturer harus mengakui bagian pertisipasinya dalam pengendalian bersama entitas dengan menggunakan konsolidasi proporsional atau metode ekuitas. PSAK No. 12 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Penerapan dini dianjurkan.
  • PSAK No. 15 (Revisi 2009), mengenai “Investasi pada Entitas Asosiasi”.
    PSAK No. 15 (Revisi 2009) diterapkan untuk akuntansi investasi dalam entitas asosiasi, yaitu suatu entitas, termasuk entitas non-korporasi seperti persekutuan, dimana investor mempunyai pengaruh signifikan dan bukan merupakan entitas anak ataupun bagian partisipasi dalam ventura bersama. Investasi dalam entitas asosiasi dicatat dengan menggunakan metode ekuitas. PSAK No. 15 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Penerapan dini PSAK No. 15 (Revisi 2009) dianjurkan.
  • PSAK No. 25 (Revisi 2009), mengenai “Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan”.
    PSAK No. 25 (Revisi 2009) mensyaratkan Perusahaan untuk mengungkapkan dampak yang mungkin timbul akibat penerapan standar-standar akuntansi keuangan yang baru pada laporan keuangan pada periode awal penerapan. PSAK No. 25 (Revisi 2009) juga memberikan panduan untuk mencatat dan mengungkapkan kesalahan, perubahan estimasi akuntansi dan perubahan kebijakan akuntansi. PSAK No. 25 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Penerapan lebih dini dianjurkan.
  • PSAK No. 48 (Revisi 2009), mengenai “Penurunan Nilai Aset”.
    PSAK No. 48 (Revisi 2009) memberikan prosedur untuk mengidentifikasikan unit penghasil kas dan mengukur penurunan nilai aset. Suatu rugi penurunan nilai harus dicatat untuk suatu unit penghasil kas ketika jumlah terpulihkan dari unit tersebut lebih kecil dari nilai tercatatnya. Rugi penurunan nilai harus dialokasikan untuk mengurangi jumlah tercatat atas setiap goodwill yang dialokasikan ke unit penghasil kas tersebut dan ke aset lain dari unit tersebut dibagi pro rata atas dasar jumlah tercatat setiap aset di dalam unit tersebut. PSAK No. 48 (Revisi 2009) mensyaratkan Perusahaan untuk menilai pada setiap akhir periode pelaporan apakah terdapat indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa suatu aset mengalami penurunan nilai dan rugi penurunan nilai yang diakui pada periode sebelumnya untuk aset lain selain goodwill sudah tidak terdapat lagi. PSAK No. 48 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Perusahaan harus menerapkan secara prospektif.
  • PSAK No. 57 (Revisi 2009), mengenai “Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi dan Aset Kontinjensi”.
    Pada Agustus 2009, DSAK mengeluarkan PSAK No. 57 (Revisi 2009), mengenai “Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi dan Aset Kontinjensi” yang menggantikan PSAK No. 57, mengenai “Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi dan Aset Kontinjensi”. PSAK No. 57 (Revisi 2009) memberikan panduan penerapan untuk mengakui dan mengungkapkan kewajiban diestimasi, kewajiban kontinjensi dan aset kontinjensi. PSAK No. 57 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Penerapan lebih dini atas PSAK No. 57 (Revisi 2009) dianjurkan.
  • PSAK No. 58 (Revisi 2009), mengenai “Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan”.
    PSAK No. 58 (Revisi 2009) memperluas pedoman pengklasifikasian dan pengukuran aset tersedia untuk dijual. Aset tersedia untuk dijual disajikan sebagai aset lancar dan terpisah dari pos lainnya. PSAK No. 58 (Revisi 2009) berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai atau sesudah 1 Januari 2011. Penerapan secara dini dianjurkan.

Sumber : Indonesia Tax Review

Download PSAK

Berikut ini merupakan daftar PSAK dalam bentuk softcopy, klik download untuk mendownloadnya.

  1. PSAK 00 Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Laporan Keuangan [download]
  2. PSAK 01 Pengungkapan Kebijakan Akuntansi [download]
  3. PSAK 01 Revisi Pengungkapan Kebijakan Akuntansi [download]
  4. PSAK 02 Arus Kas [download]
  5. PSAK 03 Laporan Keuangan Interim [download]
  6. PSAK 04 Laporan keuangan Konsolidasi [download]
  7. PSAK 05 Segmen [download]
  8. PSAK 06 Akuntansi dan Pelaporan untuk Perusahaan dalam Tahap Pengembangan [download]
  9. PSAK 07 Pengungkapan Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa [download]
  10. PSAK 08 Peristiwa setelah Tanggal Neraca dan Kontinjensi [download]
  11. PSAK 08ED Peristiwa setelah Tanggal Neraca dan Kontinjensi [download]
  12. PSAK 09 Penyajian Aktiva Lancar dan Kewajiban Lancar [download]
  13. PSAK 10 Transaksi dalam Mata Uang Asing [download]
  14. PSAK 11 Penjabaran Laporan Keuangan dalam Mata Uang Asing [download]
  15. PSAK 12 Pelaporan Keuangan tentang Bagian Partisipasi dalam Pengendalian [download]
  16. PSAK 13 Akuntansi untuk Investasi [download]
  17. PSAK 14 Akuntansi untuk Persediaan [download]
  18. PSAK 15 Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi [download]
  19. PSAK 16 Aktiva Tetap dan Lain-Lain [download]
  20. PSAK 16ED Aktiva Tetap dan Lain-Lain [download]
  21. PSAK 17 Penyusutan [download]
  22. PSAK 18 Akuntansi Dana Pensiun [download]
  23. PSAK 19 Aktiva Tidak Berwujud [download]
  24. PSAK 20 Biaya Riset dan Pengembangan [download]
  25. PSAK 21 Akuntansi Ekuitas [download]
  26. PSAK 22 Akuntansi Penggabungan Usaha [download]
  27. PSAK 23 Pendapatan [download]
  28. PSAK 24 Akuntansi Biaya Manfaat Pensiun [download]
  29. PSAK 25 Kesalahan Mendasar [download]
  30. PSAK 26 Biaya Pinjaman [download]
  31. PSAK 27 Kewajiban Diestimasi [download]
  32. PSAK 27 Revisi (98) Akuntansi Perkoperasian [download]
  33. PSAK 28 Akuntansi Asuransi Kerugian [download]
  34. PSAK 29 Akuntansi Minyak dan Gas Bumi [download]
  35. PSAK 30 Leasing [download]
  36. PSAK 31 Akuntansi Perbankan [download]
  37. PSAK 32 Akuntansi Kehutanan [download]
  38. PSAK 33 Akuntansi Pertambangan Umum [download]
  39. PSAK 34 Akuntansi Kontrak Kontruksi [download]
  40. PSAK 35 Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi [download]
  41. PSAK 37 Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol [download]
  42. PSAK 38 Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali [download]
  43. PSAK 39 Akuntansi Kerjasama Operasi [download]
  44. PSAK 40 Perubahan EKuitas Anak Perusahaan-Perusahaan Asosiasi [download]
  45. PSAK 41 Akuntansi Waran [download]
  46. PSAK 42 Akuntansi Perusahaan Efek [download]
  47. PSAK 43 AKuntansi Anjak Piutang [download]
  48. PSAK 44 Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estate [download]
  49. PSAK 45 Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba [download]
  50. PSAK 46 Akuntansi Pajak Penghasilan [download]
  51. PSAK 47 Akuntansi Tanah [download]
  52. PSAK 48 Penurunan Nilai Aktiva [download]
  53. PSAK 49 Akuntansi Reksadana [download]
  54. PSAK 50 Akuntansi Investasi Efek Tertentu [download]
  55. PSAK 51 Akuntansi Kuasa Reorganisasi [download]
  56. PSAK 52 Akuntansi Mata Uang Pelaporan [download]
  57. PSAK 53 Akuntansi Kompensasi Berbasis Saham [download]
  58. PSAK 54 Akuntansi Restrukturisasi Hutang Piutang Bermasalah [download]
  59. PSAK 55 AKuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung [download]
  60. PSAK 56 Laba Per Saham [download]
  61. PSAK 56 Laba Per Saham Lengkap [download]
  62. PSAK 57 Kewajiban Diestimasi, Kewajiban, dan Akuntansi Kontruksi [download]
  63. PSAK 58 Operasi dalam Penghentian [download]
  64. PSAK 59 Akuntansi Perbankan Syariah [download]

Sumber : Dwi Wahyudi, SE

Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN 0%

Sesuai dengan PMK-70/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010, terhitung mulai 1 April 2010 berikut ini Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% :

a. Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi syarat sbb :
  • Pemesan atau penerima JKP berada di Luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia,
  • Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau Penerima JKP,
  • Bahan adalah bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan,
  • Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima JKP; dan
  • Pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke luar daerah Pabean.

b. Jasa Perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi syarat sbb :

  • Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean

c. Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi,layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi syarat sbb :

  • Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

Saat terutangnya PPN dan Pemberitahuan Ekspor JKP

Saat terutangnya PPN atas ekspor Jasa Kena Pajak adalah saat penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat dan diakui sebagai penghasilan.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak dengan formulir yang telah ditetapkan dalam lampiran PMK-70 pada saat ekspor Jasa Kena Pajak. Dokumen pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak yang dilampiri dengan Invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, berfungsi sebagai Faktur Pajak (dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak).

Atas pengiriman barang kena pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor jasa Maklon oleh PKP eksportir Jasa Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor BKP dalam SPT Masa PPN.
PPN atas Penyerahan JKP Lain ke WP LN

Dengan diterbitkannya PMK-70 maka jelas bahwa Penyerahan JKP lain, -selain yang telah diatur dalam PMK-70- kepada Wajib Pajak Luar Negeri tidak termasuk dalam pengertian ekspor JKP yang merupakan obyek PPN dengan tarif 0%

dikutip dari "triyani's weblog"

Faktur Pajak


Dokumen Yang Disamakan dengan Faktur Pajak ; PER-10/PJ/2010 [Digg]
Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-10 /PJ/2010 adalah Pemberitahuan Ekspor Barang, Surat Perintah Penyerahan Barang, Paktur Nota Bon Penyerahan, Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi, Tanda pembayaran dan beberpa dokumen lain.


Ketentuan Mengenai Faktur Pajak PPN sesuai UU PPN baru [Digg]
Khusus untuk PKP Eceran (PKP PE) diberikan kemudahan untuk menggunakan nomor sendiri yang dapat berupa nomor invoice atau nomor struk penjualan sebagaimana telah dipergunakaan saat ini, sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Mulai 1 Januari 2011 wajib melakukan penomoran faktur pajak sesuai ketentuan dalam lampiran III PER-13/PJ/2010.

Akuntansi Kontrak Konstruksi

Berdasarkan PSAK No. 34 mengenai Akuntansi Kontrak Konstruksi diatur mengenai syarat pengakuan dan pencatatan pendapatan dan biaya kontrak untuk pekerjaan kontrak konstruksi yaitu :

Paragraf 20
“Bila hasil (Outcome) kontrak konstruksi dapat diestimasi secara andal, pendapatan kontrak dan biaya kontrak yang berhubungan dengan kontrak konstruksi harus diakui masing-masing sebagai pendapatan dan beban dengan memperhatikan tahap penyelesaian aktivitas kontrak pada tanggal neraca (percentage of completion).”

Paragraf 23
“Menurut metode ini, pendapatan kontrak dihubungkan dengan biaya kontrak yang terjadi dalam mencapai tahap penyelesaian tersebut, sehingga pendapatan, beban, dan laba yang dilaporkan dapat diatribusikan menurut penyelesaian pekerjaan secara proporsional.”

Tahap penyelesaian suatu kontrak (percentage-of-completion) dapat ditentukan dengan berbagai cara (PSAK No. 34 par. 28). Perusahaan menggunakan mteode yang mengukur secara andal pekerjaan yang dilakukan. Bergantung pada sifat kontrak, metode tersebut antara lain meliputi :

  • proporsi biaya kontrak untuk pekerjaan yang dilaksanakan sampai tanggal total biaya kontrak yang diestimasi;
  • survei atas pekerjaan yang telah dilaksanakan; dan
  • penyelesaian suatu bagian secara fisik dari pekerjaan kontrak.

Teknik Penjurnalan

Lebih lanjut, dalam paragaf 36 PSAK No. 34 diatur mengenai dasar perlakuan akuntansi atas perubahan estimasi sebagai berikut :

“Metode persentase penyelesaian diterapkan secara kumulatif dalam setiap periode akuntansi. Oleh karena itu, pengaruh perubahan dalam estimasi pendapatan kontrak dan biaya kontrak, dipertanggungjawabkan sebagai perubahan dalam estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi. Perubahan estimasi digunakan sebagai dasar dalam penentuan jumlah pendapatan dan beban yang diakui dalam laporan laba rugi dalam periode di mana perubahan tersebut terjadi dan periode selanjutnya.”

Dalam paragraph 37 – 42 PSAK No. 34 diatur mengenai pengungkapan dalam laporan keuangan sebagai berikut :

Perusahaan harus mengungkapkan :

jumlah pendapatan kontrak yang diakui sebagai pendapatan dalam periode berjalan;
metode yang digunakan untuk menentukan pendapatan kontrak yang diakui dalam periode;
metode yang digunakan untuk menentukan tahap penyelesaian kontrak.
Perusahaan harus mengungkapkan hal-hal berikut untuk pekerjaan dalam proses penyelesaian pada tanggal neraca :

jumlah akumulasi biaya yang terjadi dan laba yang diakui (dikurangi kerugian yang diakui) sampai tanggal neraca;
jumlah uang muka yang diterima; dan
jumlah retensi.

Laporan status proyek dalam penyelesaian


Perusahaan harus menyajikan :

  • jumlah tagihan bruto kepada pemberi kerja sebagai asset; dan
  • jumlah utang bruto kepada pemberi kerja sebagai kewajiban.

Jumlah tagihan bruto kepada pemberi kerja untuk pekerjaan kontrak adalah selisih antara :

  • biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui; dikurangi
  • jumlah kerugian yang diakui dan termin (progress billings)

untuk semua pekerjaan dalam proses dimana biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui (dikurangi kerugian yang diakui) melebihi termin (progress billings).

Jumlah utang bruto kepada pemberi kerja adalah selisih antara :

  • biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui; dikurangi
  • jumlah kerugian yang diakui dan termin (progress billings)

untuk semua kontrak dimana termin (progress billings) melebihi biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui (dikurangi kerugian yang diakui).

Pengungkapan

Perusahaan mengungkapkan setiap keuntungan dan kerugian kontinjen sesuai dengan PSAK No. 57 tentang Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi. Keuntungan dan kerugian kontinjensi mungkin timbul dari pos-pos tertentu seperti biaya jaminan, klaim, denda, dan kemungkinan kerugian lainnya.

Pajak yang dihitung berdasarkan Penggabungan Penghasilan netto suami dan istri

Sumber :

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 29/PJ/2010

Penghasilan neto suami-isteri yang dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

Dikenakan kepada :

a. bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.

b. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.

c. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.

d. Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.

Fasilitas Perpajakan di Kawasan Bebas

Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang memberikan fasilitas pada Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas yang diatur dengan:

Peraturan Pemerintah Nomor PP NO 2 Tahun 2009 Tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Pengawasan Atas Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas

Peraturan Menteri Keuangaan Nomor PMK-45/PMK.03/2009 Tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan PPN Dan/Atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Dan Pemasukan Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Ke Kawasan Bebas

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-37/PJ/2009 Tentang Penyampaian PP NO 2 Tahun 2009 Tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Pengawasan Atas Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Dan PMK-45/PMK.03/2009 Tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan PPN Dan/Atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Dan Pemasukan Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Ke Kawasan Bebas

Hal-hal yang diatur oleh ketentuan di atas adalah sebagai berikut:

Sejak tanggal 1 April 2009 Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang telah dikukuhkan sebelum tanggal 1 April 2009 akan dicabut pengukuhannya secara bertahap.

Fasilitas Perpajakan di Kawasan Bebas adalah sebagai berikut:

Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak di dalam Kawasan Bebas dan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya, dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM.

Permasukan Barang Kena Pajak berwujud dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM serta tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22.

Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.

Pemasukan barang Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau dari Tempat Penimbunan berikat ke Kawasan Bebas yang melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.

Penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas tidak dipungut PPN.

Pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat dalam hal barang merupakan barang asal luar Daerah Pabean, dibebaskan dari pengenaan PPN dan tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22.

Fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, dapat diberikan apabila Barang Kena Pajak tersebut telah benar-benar masuk ke Kawasan Bebas, yang dibuktikan dengan Pemberitahuan Pabean FTZ-03 yang telah di-endorse oleh petugas Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan di Kantor Pabean di Kawasan Bebas.

Fasilitas PPN tidak dipungut sebagaimana tersebut dalam angka 2 huruf e di atas, tidak perlu melalui endorsement dari pejabat pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Untuk mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut, prosedur administrasi yang wajib dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dari Tempat Lain DalamDaerah Pabean ke Kawasan Bebas, antara lain:

wajib menerbitkan Faktur Pajak Standar yang dicap “PPN TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2009″;

wajib menerbitkan Faktur Pajak Standar paling lama pada saat pengiriman Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas;

mendapatkan Pemberitahuan Pabean FTZ-03 yang telah di-endorse dengan catatan “DAPAT DIBERIKAN FASILITAS PPN TIDAK DIPUNGUT’ atas pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas.

Tata cara pemberian endorsement Pemberitahuan Pabean FTZ-03 diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2009 tentang tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dadatau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barmg Kena Pajak danlatau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.

Perlakuan perpajakan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean sebagai berikut:

Pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean wajib dilunasi PPN.

Dalam ha1 Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean adalah Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM.

Dalam hal Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas berasal dari luar Daerah Pabean atau mengandung bahan baku yang diimpor, disamping dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM, juga dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 impor.

Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau ke Tempat Penimbunan Berikat dikenakan PPN.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut sebagai Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 583/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam;

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 393/KMK.03/2004 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Masuk di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam;

Peraturan Menteri Keuangan 16/PMK.03/2005 tentang PerIakuan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Masuk, di Kawasan Berikat (Bonded Zone, Daerah Industri Pulau Batam;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/~MK.03/2005 tentang Perlakuan Perpajakan dan Kepabeanan. Dalam Rangka Proyek Pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.011/2009,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Ketentuan Mengenai Faktur Pajak sesuai UU No 42 Tahun 2009

KETENTUAN MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU NO 42 TAHUN 2009 (UU PPN BARU)

(Mulai Berlaku 1 April 2010)

Saat Pembuatan Faktur Pajak (Pasal 13 (1a))

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
  • penyerahan Barang Kena Pajak
  • penyerahan Jasa Kena Pajak
  • ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
  • ekspor Jasa Kena Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada:
  • saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
  • saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  • saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  • saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    Dikecualikan dari ketentuan diatas*),

Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.

Contoh:

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.

Syarat Faktur Pajak

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

  • nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  • nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  • jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
  • Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  • Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  • kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  • nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.


Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud diatas atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. *)

*) Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:

  • faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
  • untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
  • terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.


Sanksi atas Pelanggaran Syarat Formal Faktur Pajak (Pasal 13 (5) jo Pasal 14 (1) e UU KUP)

PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat:

  1. Identitas pembeli; atau
  2. Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran.

(Psl 14 (1) huruf e UU KUP)
FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun Faktur Pajaknya sendiri tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya.

Pokok-Pokok Perubahan UU PPN Baru

Pokok-Pokok Perubahan UU PPN Baru

1. Objek Pajak

Ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Undang-undang PPN yang saat ini berlaku hanya mengenal ekspor BKP. Ke depan, guna menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing untuk kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud akan dikenakan PPN dengan tarif 0%.

2. Bukan Objek
  • Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Usaha
    Untuk membantu cash flow perusahaan dan memberikan kemudahan administrasi, maka pengalihan BKP yang dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, akan tidak dikenakan PPN, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
  • Penetapan Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
    Untuk lebih memberikan kepastian hukum, penetapan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN yang selama ini diatur dengan peraturan pemerintah dinaikan menjadi batang tubuh undang-undang.
  • Daging, Telur, Susu, Sayur-sayuran dan Buah-buahan
    Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan cara membantu tersedianya sumber gizi yang harganya terjangkau maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.
  • Barang dan Jasa yang Telah Dikenakan Pajak Daerah
    Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu:
    1) barang hasil pertambangan galian C UU PDRD;
    2) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya;
    3) jasa perhotelan; dan
    4) jasa boga/katering.
  • Jasa Keuangan
    Untuk memberikan perlakuan yang sama, jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk perbankan syariah, ditetapkan sebagai bukan JKP, sehingga atas penyerahannya tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, tidak ada perbedaan perlakuan PPN bagi Wajib Pajak yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan usaha yang sama.
  • Pasokan Barang Hasil Pertambangan Umum sebagai Bahan Baku untuk Industri Energi Dalam Negeri
    Untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk batubara, tetap dikategorikan sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.

3. Faktur Pajak dan Saat Pembuatannya

Beberapa hal berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam UU PPN ini, yaitu:

  • Hanya akan dikenal satu jenis Faktur Pajak. Tidak ada lagi Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana.
  • Saat Pembuatan Faktur Pajak
    Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.

4. Pengkreditan Pajak Masukan

  • Untuk mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam UU PPN yang baru dipertegas bahwa selain pemenuhan syarat formal Faktur Pajak, maka suatu Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material, yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.
  • Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal.
  • Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha yang bersangkutan ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali.

5. Deemed Pajak Masukan

Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme PK-PM secara normal, atau mengalami kesulitan dalam menghitung PPN yang harus dibayar, misalnya Pedagang Eceran atau petani kecil, maka dalam dalam UU PPN yang baru diatur mengenai penggunaan deemed Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak berdasarkan:

  • jumlah peredaran usaha/omset;
  • sektor/kegiatan usaha tertentu.


6. Retur/Pengembalian Jasa Kena Pajak

Agar paralel dengan perlakuan PPN untuk retur/pengembalian Barang Kena Pajak, dalam UU PPN yang baru diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.

7. Saat Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPN

Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam UU KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

8. Restitusi dan Pengembalian Pendahuluan

  • Restitusi (umum)
    Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak.
  • Restitusi untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
    Dengan pertimbangan bahwa barang bawaan yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang asing yang bukan penduduk Indonesia merupakan barang yang akan dikonsumsi di luar negeri dan untuk menarik wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia, maka PPN dan PPn BM yang dibayar oleh orang asing tersebut atas barang-barang yang dibawanya ke luar negeri diberikan pengembalian. Oleh karena itu, dalam UU PPN diatur pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri, dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp 500 ribu.
  • Pengembalian Pendahuluan
    1) Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya berdasarkan self assessment, Wajib Pajak tertentu yang memiliki risiko rendah dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian apabila diperlukan.
    2) Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) per bulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.

9. Pemusatan Tempat PPN Terutang

Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, dalam UU PPN yang baru diberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang, yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan (bukan lagi permohonan) secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.

10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah

  • Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka tarif tertinggi PPn BM dinaikkan dari 75% menjadi 200%. Tarif PPnBM tertinggi sebesar 200% ini hanya akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.
  • Barang yang apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan masyarakat dan moral masyarakat, serta mengangu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol, tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah, karena lebih tepat untuk dikategorikan sebagai barang yang dikenakan cukai.

11. Fasilitas Perpajakan

Untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan yang belum diatur dalam Undang-Undang antara lain untuk:

  • perwakilan negara asing/badan-badan internasional;
  • impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri;
  • listrik dan air;
  • kegiatan penanggulangan bencana alam nasional;
  • menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi;
  • bahan baku kerajinan perak.

12. Tanggung Renteng

Pengaturan mengenai tanggung renteng Pajak Pertambahan Nilai—yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sampai dengan perubahan kedua atas Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan kemudian dihapus dari UU KUP yang baru karena merupakan pengaturan material—diatur kembali dalam UU PPN yang baru mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.

sumber: kanwildjpjakartakhusus

PPh Pesangon

DASAR HUKUM

Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2009

Peraturan Menteri Keuangan No 16/PMK.03/2010

PENGERTIAN

  • Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
  • Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
  • Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
  • Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
  • Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
  • Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.


SIFAT

  • Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
  • Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender
  • Dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan


Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.


Penerima penghasilan sebagaimana contoh diatas yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00.


Pajak Penghasilan Pasal 21 (seperti yg disebutkan dalam nomor 3) yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.


TARIF PPh PASAL 21 UANG PESANGON


Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut :

  • sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
  • sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
  • sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  • sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).


Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00.


Penghasilan bruto Rp 175.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :

0% x Rp50.000.000,00 = RP 0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp 11.250.000,00 (+)
______________
Rp13.750.000,00


Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :


a. Bulan Desember 2009 = Rp 50.000.000,00
b. Bulan April 2010 = Rp 125.000.000.00 (+)
_______________
Jumlah Rp 175.000.000,00


Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000.00


Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong :

Bulan Desember 2009:

Jumlah penghasilan bruto Rp 50.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :
0% x Rp50.000.000.00 =Rp 0,00

Bulan April 2010:

Jumlah penghasilan bruto Rp 125.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :
5% x Rp 50.000.000.00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.000.000.00 = Rp 11.250.000,00 (+)
______________
Jumlah Rp 13.750.000,00


Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp 13.750.000,00


TARIF PPh PASAL 21 UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, ATAU JAMINAN HARI TUA


Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

  • sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah);
  • sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah:


Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:
0% x Rp 50.0000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 100.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
_____________
Jumlah = Rp 5.000.000,00


Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :


Bulan Desember 2009 sebesar Rp 50.000.000,00
Bulan Februari 2010 sebesar Rp 100.000.000,00
_______________
Jumlah Rp 150.000.000,00


Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

Bulan Desember 2009:0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
Bulan Februari 2010:5% x Rp 100.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
_____________
Jumlah = Rp 5.000.000,00


TATACARA PEMOTONGAN

  • Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
  • Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
  • Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan kewajiban memberikan bukti pemotongan tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0%(nol persen).


PENGALIHAN PEMBAYARAN

  • Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
  • Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon
    Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon
  • Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. Pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut.
    Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai
  • Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun vang dibayarkan secara sekaligus.


Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup


BERLAKU


Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Nopember 2009
Pada saat Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2009 ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

DOWNLOAD
Bukti Potong Final – klik disini