Jl. Kutilang 9/11 Perum GKA, Gresik-Jawa timur Telp.031-3957653, 08113514057

Kapur Sirih


Kami hadir untuk membantu para pengusaha memahami Pajak dan akuntansi untuk meningkatkan kinerja usahanya dan kesejahteraan pekerja dimasa datang. Disitus ini, kami akan coba memberikan informasi tentang pajak dan akuntansi yang bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan anda dan kami juga melayani konsultasi gratis lewat chatting maupun email ke talk.joko@gmail.com.

Bagi anda yang terlalu sibuk mengurusi bisnis, anda juga dapat menyerahkan pekerjaan-pekerjaan di bidang pajak dan akuntansi kepada kami dengan harga yang terjangkau (sesusai kemampuan perusahaan anda). Pada prinsipnya kami hadir untuk saling membantu dan berbagi pengetahuan.

Chat With Me

Kolom Pajak


Perhitungan Pajak PPh 21 Untuk Jasa Tenaga Ahli Mulai Tahun 2009

Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009, perhitungan pajak PPh 21 untuk jasa tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, aktuaris) sebagai berikut :
  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : 50% x Penghasilan Bruto
  • PPh 21 : Tarif Pasal 17 x DPP kumulatif

Contoh kasus :

Bulan Maret 2009, jasa tenaga ahli sebesar 80 juta.

DPP : 80 juta x 50% = 40 juta

DPP kumulatif : 40 juta

PPh 21 yang harus dipotong : 5% x 40 juta = 2.000.000

Bulan Mei 2009, jasa tenaga ahli sebesar 60 juta.

DPP : 60 juta x 50% = 30 juta

DPP kumulatif : 40 juta + 30 juta = 70 juta

PPh 21 :

5% x 10 juta = 500.000

15% x 20 juta = 3.000.000

PPh 21 yang harus dipotong : 3.500.000

Jika si pemberi jasa tidak punya NPWP, maka akan dipotong sebesar 120%.

* Contoh diatas, apabila pemotongan pada orang yang sama.

Dasar Hukum :

PER-31/PJ./2009 tanggal 25 Mei 2009

PMK-252/PMK.03/2008 Jo PER-31/PJ./2009.

Cara Merubah Bukti Potong PPh Final Ke PPh 23

Untuk Perusahaan Jasa Konstruksi, Pemerintah Menerbitkan Peraturan untuk mempermudah perubahan bukti potong yang terlanjur salah dalam penerapan peraturan perpajakan jasa kontruksi dengan mengeluarkan :

PMK no 153/PMK.03/2009 "Perubahan PMK No187 tentang cara pemotongan,penyetoran dan pelaporan PPh Jasa Konstruksi"


JAKARTA, 29 September 2009 Menteri Keuangan menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO 153/PMK.03/2009 TENTANG:
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008TENTANG TATACARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN,DAN PENATAUSAHAAN PAJAK PENGHASILAN ATASPENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

Isi Dari PMK tersebut adalah :

Pasal I
Ketentuan Pasal 8 diubah
Antara Pasal 8 dan 9 disisipkan 3 Pasal yaitu: 8A, 8B, dan 8C
Pasal II
Peraturan mulai berlaku pada tanggal 29 September 2009

Selengkapnya bisa download disini

Yang Bisa Dilakukan bila mendapat Bukti Potong PPh yang salah

Banyak para pengusaha jasa konstruksi yang kesulitan melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya untuk tahun 2008 dan 2009 karena kendala teknis dilapangan. Semoga permasalahan dan opini dibawah ini berguna untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut :

Permasalahan

Sehubungan dengan telah diberlakukannya PP No. 40 tahun 2009, terdapat beberapa proyek yang memiliki karakteristik transaksi sebagai berikut:
  1. Kontrak ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008.
  2. Berita Acara Serah Terima (BA-ST) disetujui dan bertanggal sebelum 31 Desember 2008.
  3. Pembayaran dilakukan setelah 1 Januari 2009.

Karena karakteristik transaksi yang sedemikian, maka pengenaan pajaknya sesuai dengan Pasal 10 PP 40 tahun 2009 atau diberlakukan sebagai transaksi non final.
Perusahaan telah menyelesaikan kewajiban perpajakan atas transaksi tersebut dengan mekanisme SPT PPh Badan tahun 2008 (lebih bayar).
Namun pada saat pembayaran termyn dilakukan (setelah 1 Januari 2009), pemberi kerja melakukan pemotongan PPh Final sesuai dengan PP No. 51 tahun 2008 sehingga terjadi dua kali pengenaan pajak atas obyek yang sama.


Opini

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa telah terjadi pengenaan pajak dua kali atas obyek yang sama, yaitu melalui mekanisme SPT Tahunan PPh Badan 2008 dan melalui mekanisme pemotongan oleh pihak lain sesuai dengan PP 51 tahun 2008 (PPh Final).


Dalam hal ini telah terjadi pemotongan pajak yang seharusnya tidak dilakukan pemotongan sesuai dengan PMK 190 tahun 2007. Pasal 1 berbunyi:


”Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan pajak yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.”


Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Perusahaan telah memenuhi seluruh kewajiban perpajakan atas transaksi dimaksud sehingga ketika dilakukan pemotongan oleh pihak lain maka terjadi kesalahan sesuai dengan bunyi pasal di atas. Hal yang dapat dilakukan oleh Perusahaan adalah sesuai dengan pasal 3 ayat (2) yang berbunyi:


Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan


Perusahaan belum melakukan pengkreditan atas pemotongan yang dilakukan oleh pemberi kerja sehingga memenuhi kriteria pasal di atas.


Hal yang harus dipenuhi oleh Perusahaan secara administratif untuk dapat mengajukan permohonan pengembalian adalah sebagaimana dalam pasal 5 ayat (2):


Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut terdaftar


Syarat-syarat administratif adalah sebagai berikut:


Permohonan pengembalian kelebihan, pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut atau Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri, antara lain :

  1. Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
  2. Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang dan
  3. Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang


Direktorat Jenderal Pajak harus memberikan tanggapan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan.

PER-53/PJ/2009 Mengenai Formulir SPT PPh Masa Baru (Berlaku 1 Nopember 2009)

PER-53/PJ/2009 Mengenai Formulir SPT PPh Masa Baru (Berlaku 1 Nopember 2009)


Telah terbit Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tanggal 30 September 2009 mengenai SPT PPh Final, PPh Pasal 4 ayat(2), Surat pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 baru, yang mulai berlaku 1 Nopember 2009

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-53/PJ/2009

mencabut

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2009

Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Final, PPh Pasal 4 ayat(2), Surat pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 Serta bukti Pemotongan/Pemungutannya



Download (sesuai PER-53/PJ/2009) :
SPT Masa PPh Ps 23/26 - versi Excel
SPT Masa PPh Ps 22 - versi Excel
SPT Masa PPh Ps 15 - versi Excel
SPT Masa PPh Ps 4 ayat 2 - versi Excel

PPh Final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak real estat

SE- 80/PJ/2009
TENTANG
PELAKSANAAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG USAHA POKOKNYA MELAKUKAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Sehubungan dengan pelaksanaan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estat), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP real estat dilakukan :
a. paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran,dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran ;
b. sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai pengalihan hak .
2. Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang .
3. Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31 Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang .
4. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dapat dilakukan oleh cabang . Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan di cabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh .
5. Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak bekerja sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)IJoint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO .
6. Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud dalam butir 5 telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota KSO maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO .
7. Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Surat Keterangan Bebas (SKB) pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP Badan real estat) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) pengalihan hak (penjualan) atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 2009 ;
2) penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi ;
3) permohonan diajukan oleh WP Badan real estat yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan disertai lampiran berupa daftar tanah dan/atau bangunan sesuai format yang ditetapkan yang diisi dengan lengkap meliputi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli tanah dan/atau bangunan.
b. Sehubungan dengan nama dan NPWP pembeli yang tercantum dalam SKB sebagaimana dimakud pada huruf a, ditegaskan bahwa :
1) NPWP pembeli wajib dicantumkan dalam permohonan SKB, kecuali berdasarkan ketentuan perpajakan pembeli tersebut tidak wajib memiliki NPWP;
2) nama pembeli yang tercantum dalam permohonan SKB adalah pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) ;
3) dalam hal terjadi perubahan PPJB sehingga WP Badan real estat menerima atau memperoleh penghasilan dari perubahan PPJB tersebut, maka SKB hanya dapat diterbitkan apabila WP Badan real estat dapat membuktikan bahwa penghasilan dari perubahan PPJB tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi .

Perhitungan PPh Badan Tahun 2009

Perhitungan PPh Badan untuk Tahun Pajak 2009 Berdasarkan tarif PPh Pasal 17, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,-
Contoh :
Peredaran bruto PT. “Taat Pajak” sebesar Rp 4.500.000.000,- dengan penghasilan kena pajak Rp. 675.000.000,-
Memperoleh pengurang 50 %
Pajak Penghasilan =
50% x 28% x 675.000.000 = Rp. 94.500.000,-
Peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,- sampai dengan Rp. 50.000.000.000,-
Contoh :
Peredaran bruto PT. “Taat Pajak” sebesar Rp 40.000.000.000,- dengan penghasilan kena pajak Rp. 6.000.000.000,-
Penghasilan kena pajak yang memperoleh pengurang 50 % adalah :
=(4.800.000.000 : 40.000.000.000,-) x 6.000.000.000
= Rp. 720.000.000
Yang tidak memperoleh pengurang adalah :
6.000.000.000-720.000.000 = Rp. 5.280.000.000,-
Pajak Penghasilan =
(50% x 28% x 720.000.000) + (28% x 5.280.000.000) = Rp. 1.579.200.000,-
Peredaran bruto lebih dari Rp. 50.000.000.000,-
Contoh :
Peredaran bruto PT. “Taat Pajak” sebesar Rp 60.000.000.000,- dengan penghasilan kena pajak Rp. 9.000.000.000,-
Pajak Penghasilan =
28% x 9.000.000.000 = Rp. 2.520.000.000,-

Wajib Pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor di perdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah.

Contoh :

Laba kena pajak Rp. 9.000.000.000,-

Pajak Penghasilan =
(28%-5%) x 9.000.000.000 = Rp. 2.070.000.000,-

Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sangsi administrasi berupa denda, dan atau bunga
Fungsi Surat Tagihan Pajak:
  1. sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak;
  2. sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga dan atau denda;
  3. sarana untuk menagih pajak.

Sebab diterbitkannya STP:

  1. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. berdasarkan penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
  4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu
  5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak mengisi faktur secara lengkap
  6. PKP melaporkan faktur tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
  7. PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan

Jenis administrasi yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak:

  1. denda administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh dan ;
  2. denda administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
  3. denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha yang tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, PKP yang tidak membuat atau tidak lengkap mengisi Faktur Pajak;
  4. bunga, bagi Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan sehingga mengakibatkan kurarng bayar;
  5. bunga, bagi Wajib Pajak yang terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya

PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BUKAN PEGAWAI

Definisi Bukan Pegawai
Bukan pegawai merupakan penerima penghasilan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
  3. olahragawan
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  7. agen iklan;
  8. pengawas atau pengelola proyek;
  9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  10. petugas penjaja barang dagangan;
  11. petugas dinas luar asuransi;
  12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

Jenis Penghasilan Yang Diterima Bukan Pegawai

Antara lain berupa honorarium, komisi, fee dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dengan bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan.

Dasar Pengenaan PPh Pasal 21

Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 21 atas bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam nomor 1 selain tenaga ahli , dapat berupa Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP), atau Jumlah Penghasilan Bruto:

• Penghasilan Kena Pajak

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi bukan pegawai selain tenaga ahli yaitu:

  1. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
  2. olahragawan
  3. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  4. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  5. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. petugas dinas luar asuransi;
  11. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.

Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak Bukan Pegawai adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP yang dihitung secara bulanan

Penerima penghasilan bukan pegawai tersebut dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.

• Jumlah penghasilan bruto

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 berupa Jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai, yaitu :

  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
  3. olahragawan
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  7. agen iklan;
  8. pengawas atau pengelola proyek;
  9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  10. petugas penjaja barang dagangan;
  11. petugas dinas luar asuransi;
  12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;yang tidak bersifat berkesinambungan,

atau

menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan tetapi tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ/2009 yaitu :

“Penerima penghasilan bukan pegawai tersebut dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya”

Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

  • Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dari Jumlah Kumulatif dari Jumlah Penghasilan Bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ/2009 yaitu :“Penerima penghasilan bukan pegawai tersebut dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya”
  • Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dari Jumlah Penghasilan Bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan
  • Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dari atas Jumlah Kumulatif dari Penghasilan Kena Pajak yang diterima atau diperoleh bukan pegawai selain tenaga ahli, yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan. sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya (memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ/2009)

*) Jumlah Kumulatif :Dalam lapisan tarif terendah telah digunakan penuh, maka pemotongan akan menggunakan lapisan tarif berikutnya

Pengertian Berkesinambungan :

Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan

oleh : Seputar pelayanan pajak

Pembukuan Selisih Kurs untuk keperluan Perpajakan mulai Tahun 2009

Bunyi penjelasan dalam UU Nomor 36 Tahun 2008

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf l :

“Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.”

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e :

“Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing yang diakui berdasar sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.”

Berdasar bunyi penjelasan pasal tersebut, maka sejak berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2008, pengakuan laba atau rugi selisih kurs mengikuti PSAK Nomor 10.

Pengakuan sesilih kurs sesuai PSAK Nomor 10

Paragrap 8 dijelaskan bahwa setiap transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi. Kurs tunai yang berlaku pada saat terjadinya transaksi disebut kurs spot (spot rate).

Paragraf 9 dijelaskan bahwa pada setiap tanggal neraca :
  1. Pos aktiva dan kewajiban moneter dalam mata uang asing dilaporkan kedalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tanggal neraca. Apabila terdapat kesulitan dalam menentukan kurs tanggal neraca, maka dapat digunakan kurs tengah Bank Indonesia sebagai indicator yang objektif;
  2. Pos non-moneter tidak boleh dilaporkan dengan menggunakan kurs tanggal neraca tetapi tetap harus harus dilaporkan dengan menggunakan kurs tanggal transaksi; dan
  3. Pos non-moneter yang dinilai dengan nilai wajar dalam mata uang asing harus dilaporkan dengan menggunakan kurs berlaku pada saat nilai tersebut ditentukan.

Paragraf 14 di jelaskan bahwa selisih kurs timbul apabila terdapat perubahan kurs antara tanggal transaksi dengan tanggal penyelesaian (settlement data) dari pos moneter dalam mata uang asing. Bila tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian terjadi pada periode yang sama maka selisih kurs dibebankan seluruhnya pada periode tersebut, namun jika tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian berada dalam beberapa periode akuntansi, maka pembebanan selisih kurs dibebankan pada setiap periode akuntansi dengan memperhatikan perubahan kurs untuk setiap periode.

Contoh :

Tanggal 2 Desember 2009

Perusahaan “Giat Kerja” mendapat pinjaman dari Bank “Suka Bantu” dana sebesar 100.000 USD. Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.500,00

Tanggal 10 Desember 2009

Perusahaan “Giat Kerja” membeli barang dagangan 15 Unit @ 5.000 USD. Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.700,00

Tanggal 23 Desember 2009.

Perusahaan “Giat Kerja” menjual barang dagangan ke perusahaan “Suka Beli” sejumlah 10 Unit @ 6.000 USD . Baru dibayar untuk 5 unit. Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.300,00

Tanggal 31 Desember 2009

Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.800

Jawab :

Jurnal

2/12/2009

Kas 1.050.000.000 (Db)
Hutang Bank 10.050.000.000 (Kr)

(Mencatat Hutang Bank 100.000 x 10.500 = Rp. 1.050.000.000,00)

10/12/2009

Persediaan Barang dagangan 802.500.000 (Db)
Kas 787.500.000 (Kr)
Laba Selisih Kurs 15.000.000 (Kr)

(Mencatat pembelian barang dagangan 15 Unit (15 x 5000 x 10.700), Kas Keluar (15 x 5000 x 10.500) dan selisih kurs.

23/12/2009

Kas 309.000.000 (Db)
Piutang 309.000.000 (Db)
Penjualan 618.000.000 (Kr)

(Mencatatan Penjualan 10 x 6000 x 10.300 = Rp. 618.000.000)

Harga Pokok Penjualan 535.000.000 (Db)
Persediaan Barang 535.000.000 (Kr)

(Mencatat Harga Poko Penjualan 10 x 5000 x 10.700 = Rp. 535.000.000)

31/12/2009

Penilaian Kas

Kas 22.500.000 (Db)
Laba Selisih Kurs 22.500.000 (Kr)

Saldo Kas Per Book

25.000 USD, Kurs : 10.500 = 262.500.000
30.000 USD, Kurs : 10.300 = 309.000.000
Total : 571.500.000

Kas yg akan ditampilkan di Neraca sesuai kurs BI
55.000 USD x 10.800 = Rp.594.000.000

Laba Selisih kurs yang diakui
594.000.000 – 571.500.000 = Rp. 22.500.000

Penilaian piutang

Piutang 15.000.000 (Db)
Laba Selisih Kurs 15.000.000
(Kr)

Saldo Piutang Per Book
30.000 USD, Kurs 10.300 = Rp. 309.000.000

Piutang yg akan ditampilkan di Neraca sesuai kurs BI
30.000 USD, Kurs 10.800 = Rp. 324.000.000

Laba Selisih kurs yang diakui
324.000.000 – 309.000.000 = Rp. 15.000.000

SEMOGA JELAS DAN BERMANFAAT

Ruwetnya Pemenuhan Kewajiban Pajak untuk usaha Jasa Kontruksi tahun 2008

Sebagai pemerhati pajak di sini akan saya sampaikan kisah seorang Manajer Pajak yang ditunjuk wajib pajak untuk menenuhi kewajiban pajaknya. Semoga dengan cerita ini dapat lebih dipahaminya sebuah aturan pajak dan apa yang seharusnya dilakukan Negara untuk tidak mempersulit para pahlawan (wajib pajak) yang merelakan sebagian hartanya untuk pembangunan Negara.

“Bagaimana khabarnya ?’ wah… pusing”””, sekarang Negara mengeluarkan peraturan baru, PP Nomer 51 Tahun 2008 tentang pajak dari usaha jasa konstruksi, dikenakan pajak yang bersifat final;

Pasal 2

Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
.

Lagian selama ini perusahaan hanya mampu memperoleh laba sebelum pajak 6% sampai 8%, dengan potongan PPh 23 tarif 2% saja tiap tahun perusahaan harus restitusi. Sekarang kena 3% final !…… (kualifikasi usahanya kontraktor sedang/besar).

Pasal 3

(1) Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
  • 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasiusaha kecil;
  • 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memilikikualifikasi usaha;
  • 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasasebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  • 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh PenyediaJasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  • 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh PenyediaJasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

(2) Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final


Yang lebih parah lagi peraturan ini berlaku mundur mulai 1 Januari 2008. Kalau perusahaan tahu pajaknya mau dijadikan final. Tarif 3% akan dibebankan ke harga jual. Selama ini harapannya, kalau ada kelebihan bayar pajak akan direstitusi atau kalau rugi ndak usah bayar pajak.

Peraturan ini malah terbitnya bulan Agustus berlakunya mundur mulai 1 Januari 2008


Pasal 10 ayat (1)

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur:

  • untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaanPajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan AtasPenghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi;
  • untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PajakPenghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 12

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008

Yang kurang jelas lagi, kapan harus dipenuhi kekurangan bayar PPh final tersebut dan bagaimana mekanismenya. Padalah ini kan sudah bulan Agustus sebentar lagi tutup buku. Kenapa aturannya tidak langsung disampaikan.

Pasal 6 ayat (1)

Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

Yang ndak kalah beratnya, saya harus pisah-pisahkan data yang sudah terlanjur ngumpul jadi satu. Kalau tahu dari awal saya bisa minta tolong bagian IT untuk membuat program yang terpisah. Data proyek di perusahaan ada 500 kontrak lebih

Pasal 8

Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.


Tiga Bulan Kemudian………………..

Bagaimana kerjaannya ?’’

Ya, sekarang aturannya sudah jelas, tapi susah sekali melakukannya, saya harus datangi satu-satu pengguna jasa. Untuk melakukan pemindahbukuan.

Kalau sedikit ndak masalah. Pengguna jasa di perusahaanku puluhan, sedangkan dalam aturan saya hanya punya waktu kurang dari satu bulan untuk memenuhi kekurangan pembayaran pajak.

Belum lagi, kalau harus bicara dengan orang yang kurang mengerti pajak. Ada yang bilang mau tanya konsultannya dulu…, sudah terlanjur lapor…, ah macem-macem.

Ada lagi yang kontraknya sebelum januari 2008, karena ada aturan baru lansung di potong final karena kurang memahami aturan yang baru.

Bagi pemotong, memang kalau salah mengklasifiaksikan ndak begitu jadi masalah yang penting sudah potong, tapi bagi yang dipotong itu merupakan pemenuhan kewajiban pajak.

Semoga nanti kalau diperiksa fiskus mau memaklumi, pajak-pajak yang seharusnya tidak final tapi bukti potongnya masih PPh 23 bisa dianggap perusahaan sudah memenuhi kebutuhan pajak.

PMK Nomor 187/PMK.03./2008 Tanggal 20 Nopember 2008,

Pasal 8 ayat (4) “Pajak pengasilan yang telah dipotong atau disetor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 …….” . ketentuan ini berlaku dengan syarat pemotongan atas usaha jasa konstruksi berdasar kontrak yang ditandatangani sejak 1 Januari 2008 dan merupakan pembayaran kontrak/bagian kontrak yang dilakukan sampai akhir terbitnya Peraturan Menteri Keuangan ini (20 Nopember 2008). Sedangkan ayat (5) menyatakan “Dalam hal terdapat kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final setelah dilakukan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kekurangan pembayaran tersebut wajib disetor Penyedia Jasa paling lama tanggal 15 Desember 2008.”

Hari ini (4 Juni 2009) terbit :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILANATAS PENGHASILAN
DARI USAHA JASA KONSTRUKSI


Yang ringkasan isinya kurang lebih :

Pasal 10 diubah menjadi

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi ditentukan sebagai berikut:

  • dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
  • dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Dalam Peraturan tersebut pada penjelsannya di berikan contoh sebagai berikut :

Pengenaan Pajak Penghasilan, untuk kontrak yang ditandatangani tanggal 1 Januari 2008 untuk pekerjaan senilai Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah):

  • Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap I ditandatangani tanggal 15 Mei 2008 dan pembayaran kontrak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tanggal 20 Juni 2008, maka pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10;
  • Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap II ditandatangani tanggal 15 Nopember 2008 dan pembayaran kontrak sebesar Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) tanggal 10 Januari 2009, maka pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10;
  • Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap III ditandatangani tanggal 15 April 2009 dan pembayaran kontrak sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) tanggal 20 Mei 2009, maka pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
  • Berita acara serah terima penyerahan pekerjaan tersebut merupakan dokumen yang ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa yang memuat tingkat persentase penyelesaian pekerjaan yang sudah dicapai oleh Penyedia Jasa serta nilai penyelesaian pekerjaan.

Dalam hati, apa ya ? yang akan dilakukan teman saya nanti?’’

  1. Apakah dia akan melakukan revisi SPT PPh Badan Tahun 2008 yang telah dilaporkannya per april kemarin ?
  2. Dia bilang, walaupun terbit peraturan pajak yang bersifat final, perusahaannya masih restitusi (banyak pendapatan yang bukan dari usaha jasa kontruksi). Apakah dia akan sanggup melakukan pemindahbukuan ulang dalam waktu singkat atas potongan yang dilakukan pihak lain yang bersifat final, untuk dijadikan Potongan PPh 23 (tidak final) untuk proyek yang diperoleh sebelum bulan agustus 2008 dan penyerahaanya sebelum 31 Desember 2008, sebelum pemeriksa pajak tiba ?

Jawabnya ….

Dia harus melakukan semuanya, kalau laba bersih perusahaanya mau meningkat dan menarik kembali uang pembayaran pajak yang terlalu besar ke Negara.

Semoga Pemeriksa (fiskus) mau menyadari, ruwetnya pemenuhan kewajiban pajak untuk usaha jasa kontruksi tahun ini

PPh atas Penghasilan Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final

Dasar Hukum
  1. PP 29 TAHUN 1996 yang telah dubah terakhir dengan PP-5 TAHUN 2002 tentang Pembayaran PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  2. KMK-394/KMK.04/1996 yang telah diubah terakhir dengan KMK-120/KMK.03/2002 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  3. KEP - 227/PJ./2002 Tentang tatacara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  4. KEP - 50/PJ./1996 Tentang Penunjukan WP OP dalam negeri tertentu sebagai pemotong PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Pengertian

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Objek dan tariff

Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final


Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua juml ah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan

Pemotong PPh

  1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa.
  2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain yang tersebut pada butir (1) maka Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh p ihak yang menyewakan.

orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

  • Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tsb wajib memotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

Saat terutang

PPh atas Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan tsb terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa

Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan persewaan tanah dan/atau bangunan tsb pihak penyewa wajib:

  • Memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi;
  • Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
  • Melaporkan pemotongan da n penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

Dalam melaksanakan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan atas persewaan tanah dan/atau bangunan tsb, pihak yang menyewakan wajib:

  • Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
  • Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

Lain-Lain

Dalam pembukuan Wajib Pajak ya ng menyewakan, wajib dipisahkan antara penghasilan dan biaya yang berhubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan dengan penghasilan dan biaya lainnya.

Bagi Wajib Pajak yang semata-mata bergerak di bidang usaha persewaan tanah dan atau bangunan tidak diwajibkan membayar Pajak Penghasilan Pasal 25.

oleh : Seputar pelayanan pajak

Istri Punya NPWP sendiri

Hari ini saya mendapat pertanyaan dari seorang teman, “untung mana ya ?” …”NPWP istri dibuat sendiri sama di gabung sama suami ?”. Dia minta kalau bisa penjelasannya lewat tulisan, karena mau dibuat diskusi dengan istrinya di rumah. Karena lagi malas nulis saya browsing saja di internet dengan maksud ketemu makalah yang nulis masalah tersebut.

Kurang lebih Ini yang saya dapat :

Pada UU lama yaitu (UU No. 7 Th.1983) memang diterangkan bahwa :“Kewajiban perpajakan bagi wanita menikah tanpa perjanjian pemisahan harta dan penghasilan pada dasarnya menjadi satu dengan kewajiban pajak sang suami. Dengan kata lain, wanita menikah dalam kategori ini tidak perlu memiliki NPWP sendiri. Kewajiban PPh lainnya pun menjadi tanggungjawab suami sebagai kepala keluarga.”

Dan dalam UU PPh baru (Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008) :
Pasal 8 ayat 1 (awal) : “Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin …. dianggap sebagai penghasilan suaminya

Namun masih dalam ayat 1 : “kecuali jika penghasilan wanita yang telah kawin tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya” (dengan kata lain : jika penghasilan wanita kawin hanya dari 1 pemberi kerja, maka dianggap pengghasilan Istri Pribadi atau dikenai pajak secara terpisah dg suami)

Dan pada Pasal 8 ayat 2 butir c, ada tambahan bahwa “ Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah jika dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.” (Dengan kata lain :“Istri dibolehkan memiliki NPWP sendiri “walaupun suami istri tidak hidup berpisah atau tidak ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan” Jadi dalam keluarga yang “normal” pun istri boleh memiliki NPWP sendiri dan terpisah dengan suaminya. Perhitungan PPh terutang bagi suami istri sebanding dengan besarnya penghasilan neto mereka. Jadi, perhitungannya sama persis dengan perhitungan bagi suami istri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.)

Nah, pada kesempatan ini saya coba memberi contoh perhitungan terkait untung rugi NPWP Istri Gabung atau Pisah dg Suami : (menggunakan Undang-undang perpajakan terbaru yaitu UU Nomor 36 Tahun 2008 yang selanjutnya disingkat menjadi UU PPh.)
Pasal 17 a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
  • 5% : sampai dengan Rp50.000.000,00
  • 15% : di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp250.000.000,00
  • dst


Pasal 7 :Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2009 adalah sebagi berikut :

  • Rp15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak
  • Rp1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
  • Rp15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung, Rp1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota kelauarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenugnya, maksimal tiga orang untuk tiap keluarga

Contoh perhitungan :

Jika Total Gaji Gabungan Suami Istri dan telah dikurangi PTKP

Gabung :

  • Gaji suami : Rp. 40.000.000,-
  • Gaji Istri : 30.000.000,-
  • Total Gaji Gabungan = Rp. 70.0000,-
  • Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2009 adalah sebagi berikut :
    Rp15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak + Rp1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin +Rp15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung + Rp1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota kelauarga sedarah = Total PTKP = Rp. 34.320.000
  • PKP = Rp.70.000.000 - 34.320.000 = Rp. 35.680.000,-

PPH 21 = 5% x Rp. 35.680.000,- = Rp. 1.784.000,-

Pisah :

  • Gaji suami : Rp. 40.000.000,- ; Total PTKP Suami = Rp.18.480.000
  • PKP Suami = Rp.40.000.000 - 18.480.000 = Rp. 21.520.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp.21.520.000,-) = Rp. 1.076.000,-
  • Gaji Istri : Rp. 30.000.000,- ; PTKP Istri = Rp15.840.000,-
  • PKP Istri = Rp.30.000.000 – 15.840.000 = Rp. 14.160.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. Rp. 14.160.000,-) = Rp. 708.000
  • Total = Rp. 1.076.000,- + Rp. 708.000 = Rp. 1.784.000

ternyata sama saja ..

Tapi..bagimana jika Total Gaji Gabungan yang telah dikurangi PTKP > 50 juta ?? Berikut analoginya :

Pisah :

  • Gaji suami : Rp. 65.000.000,- ; Total PTKP Suami = Rp.18.480.000
  • PKP Suami = Rp.65.000.000 - 18.480.000 = Rp. 46.520.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. 46.520.000,-) = Rp. 2.326.000,-
  • Gaji Istri : Rp. 30.000.000,- ;PTKP Istri = Rp15.840.000,-
  • PKP Istri = Rp.30.000.000 – 15.840.000 = Rp. 14.160.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. Rp. 14.160.000,-) = Rp. 708.000,-
  • Total = Rp.2.326.000,-+ Rp. 708.000 = Rp. 3.034.000,-


Gabung

  • Gaji suami : Rp. 65.000.000,-
  • Gaji Istri : Rp. 30.000.000,-
  • Total Gaji Gabungan = Rp. 95.0000,-
  • Total PTKP = Rp. 34.320.000
  • PKP = Rp.95.000.000 - 34.320.000 = Rp. 60.680.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. 50.000.000,-) + (15% x Rp. 10.680.000,-) = 2.500.000 + 1.602.000 = Rp. 4.102.000
  • atau ada Kurang Bayar = Rp. 1.068.000,- (saat pelaporan SPT nambah bayar pajak)


So silahkan dipikir2 sendiri ya rekan2..Sy pribadi sih bersyukur krn ada UU PPH yg baru ini ..krn Istri diberi kebebasan memilih apakah mau gabung NPWP atau tidak dg suami (tanpa harus berpisah/bercerai atau harus membuat surat pisah harta)

Itulah cuplikan tulisan yang saya dapat dari sebuah blog,

karena Dia pakai UU Nomor 36 tahun 2008, ya saya coba buka sendiri di pasal 8 seperti yang digunakan rujukan untuk nulis artikel tersebut. Sudah jadi kebisaan saya selalu mencoba membaca sendiri dari sumbernya, lalu saya buka lagi buku UU tahun 2008 pasal 8. ternyata yang menjadi rujukan baru ayat (1) dan (2).

Kemudian saya teruskan baca ayat (3) bunyinya : “Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.”

jadi, menurut saya perhitungan yang disampaikan diatas kalau penghasilan lebih dari 50 jt, dengan pisah NPWP akan lebih hemat, sangat berisiko bila nanti diperiksa oleh fiskus yang ngotot pakai pasal 8 ayat 3 UU no. 36 tahun 2008. dengan mengitung pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri. Yang akhirnya mengakibatkan kurang bayar plus denda yang harus di tanggung karena kurang bayar pajak.

Sekalian saya tulis disini ayat (4) bunyinya : “ Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya”.

Nah ini baru lengkap, telah kita baca semua ayat yang ada di UU No.36 tahun 2008 pasal 8. tak ada bedanya istri punya atau tidak NPWP sendiri. yang ada tambah repot. semoga bermanfaat.

Pajak Pertambahan Nilai

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:

Barang tidak kena PPN

Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
  1. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
  2. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.

Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
Segala jenis
beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:

  1. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
  2. Gilingan.
  3. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
  4. Beras pecah.
  5. Menir (groats) beras.

Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:

  1. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
  2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
  3. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.

Sagu, dalam bentuk:

  1. Empulur sagu,
  2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.

Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.

Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:

  1. Garam meja.
  2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.

Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.

Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Jasa tidak kena PPN

Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:

  1. Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
  2. Jasa paramedis dan perawat.

Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:

  1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
  2. Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
  3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
  4. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
  5. Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
  6. Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
  7. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.

Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero).

Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:

  1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
  2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
  3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.

Jasa di bidang keagamaan, meliputi:

  1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
  2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
  3. Jasa lainnya di bidang keagamaan.

Jasa di bidang pendidikan, meliputi:

  1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
  2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.

Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.

Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.

Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:

  1. Jasa tenaga kerja.
  2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
  3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

Jasa di bidang perhotelan, meliputi:

  1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, , motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.rumah penginapan
  2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai

PPh 23 Jasa Tenaga Kerja

Sesuai dengan Pasal 14 dalam PP Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN disebutkan bahwa penyerahan jasa dibidang tenaga kerja yang tidak dikenakan PPN meliputi :

a. Jasa tenaga kerja

Jasa tenaga kerja adalah jasa yang diserahkan oleh tenaga kerja kepada pengguna jasa tenaga kerja dengan menerima imbalan dalam bentuk gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya. Tenaga kerja tersebut bertanggung jawab langsung kepada pengguna jasa tenaga kerja atas jasa tenaga kerja yang diserahkannya.

b. Jasa penyedia tenaga kerja

Jasa penyediaan tenaga kerja adalah jasa yang diserahkan oleh pengusaha kepada pengguna jasa tenaga kerja, di mana pengusaha dimaksud semata-mata hanya menyerahkan jasa penyediaan tenaga kerja. Penyediaan jasa tenaga kerja dimaksud tidak terkait dengan pemberian Jasa Kena Pajak lainnya, seperti jasa tehnik, manajemen, konsultasi, pengurusan perusahaan, bongkar muat dan lain-lain.

Dengan demikian, jasa penyediaan tenaga kerja yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai merupakan penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan ketentuan:

  • Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak melakukan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada tenaga kerja
  • Tenaga kerja dimaksud termasuk dalam struktur kepegawaian pengguna jasa tenaga kerja.

c. Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.

Jenis jasa sebagaimana diatas merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Jenis jasa diatas berbeda dengan pengertian outsourcing. Berdasarkan Surat Edaran Nomor SE-05/PJ.53/2003 disebutkan bahwa outsourcing adalah kegiatan memberikan jasa dalam suatu bidang usaha, kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja pemberi jasa dengan disertai keterlibatan langsung tenaga kerja tersebut dalam pelaksanaannya. Sehingga outsourcing merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak yang tidak termasuk penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja.

Lebih lanjut dasar pengenaan pajak atas penyerahan outsourcing tersebut adalah sebesar penggantian yaitu seluruh tagihan yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha jasa (termasuk tagihan atas gaji tenaga kerja yang dibayarkan ditambah tagihan management fee).
Adapun implikasi dari segi pajak penghasilannya adalah mengacu pada Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 tahun 2008 (mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009), yang mengatur mengenai jenis jasa yang wajib dipotong PPh Pasal 23 dimana disebutkan bahwa tarif 2% dikenakan dari jumlah bruto atas:

  1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
  2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Kemudian dalam pasal 23 ayat (2) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan PMK Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 dalam UU Nomor 36 tahun 2008 disebutkan dalam Pasal 1 ayat 2 huruf k termasuk jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services).

Sehingga tarif PPh Pasal 23 atas jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) adalah sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Lebih lanjut dalam kontrak serta seluruh dokumen pendukung yang diterbitkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, harus menyebutkan dengan jelas pemisahan antara unsur jasa dengan unsur material.

Contoh kasus :

Perusahaan ‘XYZ’ menerima Invoice sebuah perusahaan outsource dengan rincian sbb : Upah karyawan Rp 5.000, manajemen fee Rp. 500, PPN Rp. 50 (10% dari manajemen fee) sehingga total tagihan Rp. 5.550

Penghitungan pajaknya seharusnya adalah sebagai berikut:

  • Upah Karyawan : Rp 5.000
  • Manajemen Fee : Rp 500
  • Jumlah: Rp 5.500.
  • PPN 10% dari tagihan: Rp 550
  • PPh Pasal 23 2% dari manajemen fee: Rp 10
  • Jumlah yang dibayarkan : Rp 6.040.

Pencatatannya adalah:

  • Beban: Rp 5.500
  • PPN Masukan: Rp 550
  • Utang PPh Pasal 23: Rp 10
  • Kas: Rp 6.040 .

Adapun untuk transaksi sebelum 1 Januari 2009, tarif PPh Pasal 23 atas jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) mengacu pada PER-70/PJ/2007 adalah 15% x perkiraan penghasilan netto. Perkiraan penghasilan netto nya adalah sebesar 30% x jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN. Secara singkat, tarif PPh Pasal 23 atas jasa penyedia tenaga kerja adalah 4,5% dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang, maka dikenakan atas seluruh nilai kontrak.

(Sunarto, Tax Supervisor PB&Co)

PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILANPASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA

PER-10/PJ/2009

TENTANG

PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILANPASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA

Siapa Yang dapat diberikan pengurangan ?
Wajib Pajak yang mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dalam tahun 2009

Berapa pengurangan yang dapat diberikan?
Dapat diberikan pengurangan sampai dengan 25% untuk masa pajak Januari s.d Juni 2009 Besarnya dihitung dari :

  1. besarnya PPh Ps 25 bulan Desember tahun 2008 (yang seharusnya dibayar di bulan Desember 2008)
  2. apabila WP sudah menyampaikan SPT Tahunan 2008, maka besarnya pengurangan dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh 2008

Siapa saja WP yang bisa memanfaatkan pengurangan tersebut?
Semua Wajib Pajak kecuali WP Bank, BUMN, BUMD, Perusahaan Masuk Bursa/Go Publik, dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan harus membuat laporan keuangan berkala.

Bagaimana Caranya?
WP menyampaikan surat pemberitahuan tertulis tentang besarnya PPh Ps 25 yang diminta dengan melampirkan :

  1. penghitungan PPh yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh 2008 atau penghitungan sementara PPh Terutang tahun pajak 2008, (lihat lampiran I) ;dan
  2. perkiraan penghitungan PPh yang akan terutang tahun 2009 (lampiran II)
  3. Ditandatangani pengurus atau direksi

Kapan surat tersebut disampaikan ke KPP?

Paling lambat 30 April 2009

Dapatkah mengajukan pengurangan untuk yang masa pajak Juli s.d Desember 2009?
Kalo dapat apa syaratnya?

Bisa. Syaratnya :

  1. surat permohonan pengurangan disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni 2009 dan harus dapat menunjukkan bahwa besarnya PPh yang akan terutang untuk tahun 2009 kurang dari 75% dari PPh terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25 masa pajak Januari s.d Juni 2009. dengan dilampirkan :
  2. penghitungan besarnya PPh yang akan terutang di tahun 2009 berdasarkan penghasilan yang diterima atau diperoleh sampai dengan bulan terakhir sebelum bulan pengajuan permohonan, dan perkiraan penghasilan yang akan diterima sejak bulan pengajuan permohonan sampai dengan Desember 2009. (format lihat Lampiran I dan Lampiran II)

Bagaimana apabila WP tidak mengajukan surat permohonan pengurangan PPh Ps 25 untuk masa Juli s.d Desember 2009?
WP wajib membayar PPh Pasal 25 untuk masa Juli s.d Desember 2009 sebesar PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.

Oleh : Seputar pelayanan pajak

Penghitungan PPh Ps 21 tahun 2009

Untuk tahun pajak 2009 ini terdapat beberapa perubahan penghitungan Pajak Penghasilan (PPh ) Pasal 21.

Perubahan itu meliputi :

1. Perubahan Biaya Jabatan (Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 250/PMK.03/2008)

Besarnya Biaya Jabatan yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebesar 5% dari penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) setahun atau Rp 500.000,- (limaratus ribu) sebulan . Sebelumnya sebesar 5% dari penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 1.296.000,- setahun atau Rp 108.000,- sebulan.

Besarnya Biaya Pensiun yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto untuk pensiunan sebesar 5% dari penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 2.400.000,- (dua juta empar ratus ribu rupiah) setahun atau Rp 200.000,- (dua ratus ribu) sebulan. Sebelumnya sebesar 5% dari penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 432.000,- setahun atau Rp 36.000,- sebulan

2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) (Pasal 7 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008)

Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:

Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tamb ahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan

Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluhribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

3. Tarif PPh Ps 21 (Pasal 17 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008)

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) adalah 5% (lima persen)

di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) adalah 15% (lima belas persen

di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) adalah 25% (dua puluh lima persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) adalah 30% (tiga puluh persen)

4. Tidak ada lagi SPT Tahunan PPh Ps 21 untuk tahun pajak 2009 (Pasal 13 ayat (5) PMK No. 252/PMK.03/2008)

Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir (Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu dimana pegawai tetap herhenti bekerja ) adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Sebelum tahun pajak 2009, selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Ps 21.

Untuk SPT Tahunan PPh Pasal 21 tahun pajak 2008 masih ada (PER-39/PJ/2008)
Dan disampaikan ke KPP paling lambat 31 maret 2009. Apabila ada kekurangan bayar , harus dilunasi sebelum SPT disampaikan.

Perhatian :

Terdapat perubahan penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk tahun pajak 2009. Karena adanya beberapa perubahan peraturan. Perubahan tersebut meliputi perubahan PTKP, Tarif PPh dan Biaya Jabatan. Dan di tahun 2009 tidak ada lagi SPT Tahunan PPh Pasal 21.

Sumber : Seputar Pelayanan Pajak

Rumus Gross Up untuk Tahun 2009

Rumus Gross Up untuk Perhitungan Tunjangan PPh 21 yang berlaku mulai tahun 2009 adalah sebagai beikut :

Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

PKP x 5%
--------
0.95

Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

(PKP x 15%)–5.000.000
------------------------
0.85

Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih dari Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(PKP x 25 %)–30.000.000
--------------------------
0.75

Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(PKP x 30 %) – 55.000.000
---------------------------
0.70

Rumus ini hanya berlaku untuk pekerja yang memiliki NPWP.

Perubahan Tarif PPh Pasal 23

Dengan berlakunya UU PPh No 36 Tahun 2008, berlaku pula tarif PPh Pasal 23 yang baru. Bagi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) dari pada tarif normal.

Cuplikkan Pasal 23 UU No 36 Tahun 2008 “ Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.”

Tarif Pajak PPh pasal 23

a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:

  1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g ;
  2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f ;
  3. royalti; dan
  4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

Pemotongan pajak tersebut tidak dilakukan atas:

  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
  4. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i ;
  5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
  6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

b. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

  1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
  2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.