Jl. Kutilang 9/11 Perum GKA, Gresik-Jawa timur Telp.031-3957653, 08113514057

Kapur Sirih


Kami hadir untuk membantu para pengusaha memahami Pajak dan akuntansi untuk meningkatkan kinerja usahanya dan kesejahteraan pekerja dimasa datang. Disitus ini, kami akan coba memberikan informasi tentang pajak dan akuntansi yang bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan anda dan kami juga melayani konsultasi gratis lewat chatting maupun email ke talk.joko@gmail.com.

Bagi anda yang terlalu sibuk mengurusi bisnis, anda juga dapat menyerahkan pekerjaan-pekerjaan di bidang pajak dan akuntansi kepada kami dengan harga yang terjangkau (sesusai kemampuan perusahaan anda). Pada prinsipnya kami hadir untuk saling membantu dan berbagi pengetahuan.

Chat With Me

Kolom Pajak


Pembukuan Selisih Kurs untuk keperluan Perpajakan mulai Tahun 2009

Bunyi penjelasan dalam UU Nomor 36 Tahun 2008

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf l :

“Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.”

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e :

“Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing yang diakui berdasar sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.”

Berdasar bunyi penjelasan pasal tersebut, maka sejak berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2008, pengakuan laba atau rugi selisih kurs mengikuti PSAK Nomor 10.

Pengakuan sesilih kurs sesuai PSAK Nomor 10

Paragrap 8 dijelaskan bahwa setiap transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi. Kurs tunai yang berlaku pada saat terjadinya transaksi disebut kurs spot (spot rate).

Paragraf 9 dijelaskan bahwa pada setiap tanggal neraca :
  1. Pos aktiva dan kewajiban moneter dalam mata uang asing dilaporkan kedalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tanggal neraca. Apabila terdapat kesulitan dalam menentukan kurs tanggal neraca, maka dapat digunakan kurs tengah Bank Indonesia sebagai indicator yang objektif;
  2. Pos non-moneter tidak boleh dilaporkan dengan menggunakan kurs tanggal neraca tetapi tetap harus harus dilaporkan dengan menggunakan kurs tanggal transaksi; dan
  3. Pos non-moneter yang dinilai dengan nilai wajar dalam mata uang asing harus dilaporkan dengan menggunakan kurs berlaku pada saat nilai tersebut ditentukan.

Paragraf 14 di jelaskan bahwa selisih kurs timbul apabila terdapat perubahan kurs antara tanggal transaksi dengan tanggal penyelesaian (settlement data) dari pos moneter dalam mata uang asing. Bila tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian terjadi pada periode yang sama maka selisih kurs dibebankan seluruhnya pada periode tersebut, namun jika tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian berada dalam beberapa periode akuntansi, maka pembebanan selisih kurs dibebankan pada setiap periode akuntansi dengan memperhatikan perubahan kurs untuk setiap periode.

Contoh :

Tanggal 2 Desember 2009

Perusahaan “Giat Kerja” mendapat pinjaman dari Bank “Suka Bantu” dana sebesar 100.000 USD. Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.500,00

Tanggal 10 Desember 2009

Perusahaan “Giat Kerja” membeli barang dagangan 15 Unit @ 5.000 USD. Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.700,00

Tanggal 23 Desember 2009.

Perusahaan “Giat Kerja” menjual barang dagangan ke perusahaan “Suka Beli” sejumlah 10 Unit @ 6.000 USD . Baru dibayar untuk 5 unit. Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.300,00

Tanggal 31 Desember 2009

Kurs Bank Indonesia 1 USD = Rp. 10.800

Jawab :

Jurnal

2/12/2009

Kas 1.050.000.000 (Db)
Hutang Bank 10.050.000.000 (Kr)

(Mencatat Hutang Bank 100.000 x 10.500 = Rp. 1.050.000.000,00)

10/12/2009

Persediaan Barang dagangan 802.500.000 (Db)
Kas 787.500.000 (Kr)
Laba Selisih Kurs 15.000.000 (Kr)

(Mencatat pembelian barang dagangan 15 Unit (15 x 5000 x 10.700), Kas Keluar (15 x 5000 x 10.500) dan selisih kurs.

23/12/2009

Kas 309.000.000 (Db)
Piutang 309.000.000 (Db)
Penjualan 618.000.000 (Kr)

(Mencatatan Penjualan 10 x 6000 x 10.300 = Rp. 618.000.000)

Harga Pokok Penjualan 535.000.000 (Db)
Persediaan Barang 535.000.000 (Kr)

(Mencatat Harga Poko Penjualan 10 x 5000 x 10.700 = Rp. 535.000.000)

31/12/2009

Penilaian Kas

Kas 22.500.000 (Db)
Laba Selisih Kurs 22.500.000 (Kr)

Saldo Kas Per Book

25.000 USD, Kurs : 10.500 = 262.500.000
30.000 USD, Kurs : 10.300 = 309.000.000
Total : 571.500.000

Kas yg akan ditampilkan di Neraca sesuai kurs BI
55.000 USD x 10.800 = Rp.594.000.000

Laba Selisih kurs yang diakui
594.000.000 – 571.500.000 = Rp. 22.500.000

Penilaian piutang

Piutang 15.000.000 (Db)
Laba Selisih Kurs 15.000.000
(Kr)

Saldo Piutang Per Book
30.000 USD, Kurs 10.300 = Rp. 309.000.000

Piutang yg akan ditampilkan di Neraca sesuai kurs BI
30.000 USD, Kurs 10.800 = Rp. 324.000.000

Laba Selisih kurs yang diakui
324.000.000 – 309.000.000 = Rp. 15.000.000

SEMOGA JELAS DAN BERMANFAAT

Ruwetnya Pemenuhan Kewajiban Pajak untuk usaha Jasa Kontruksi tahun 2008

Sebagai pemerhati pajak di sini akan saya sampaikan kisah seorang Manajer Pajak yang ditunjuk wajib pajak untuk menenuhi kewajiban pajaknya. Semoga dengan cerita ini dapat lebih dipahaminya sebuah aturan pajak dan apa yang seharusnya dilakukan Negara untuk tidak mempersulit para pahlawan (wajib pajak) yang merelakan sebagian hartanya untuk pembangunan Negara.

“Bagaimana khabarnya ?’ wah… pusing”””, sekarang Negara mengeluarkan peraturan baru, PP Nomer 51 Tahun 2008 tentang pajak dari usaha jasa konstruksi, dikenakan pajak yang bersifat final;

Pasal 2

Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
.

Lagian selama ini perusahaan hanya mampu memperoleh laba sebelum pajak 6% sampai 8%, dengan potongan PPh 23 tarif 2% saja tiap tahun perusahaan harus restitusi. Sekarang kena 3% final !…… (kualifikasi usahanya kontraktor sedang/besar).

Pasal 3

(1) Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
  • 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasiusaha kecil;
  • 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memilikikualifikasi usaha;
  • 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasasebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  • 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh PenyediaJasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  • 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh PenyediaJasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

(2) Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final


Yang lebih parah lagi peraturan ini berlaku mundur mulai 1 Januari 2008. Kalau perusahaan tahu pajaknya mau dijadikan final. Tarif 3% akan dibebankan ke harga jual. Selama ini harapannya, kalau ada kelebihan bayar pajak akan direstitusi atau kalau rugi ndak usah bayar pajak.

Peraturan ini malah terbitnya bulan Agustus berlakunya mundur mulai 1 Januari 2008


Pasal 10 ayat (1)

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur:

  • untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaanPajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan AtasPenghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi;
  • untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PajakPenghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 12

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008

Yang kurang jelas lagi, kapan harus dipenuhi kekurangan bayar PPh final tersebut dan bagaimana mekanismenya. Padalah ini kan sudah bulan Agustus sebentar lagi tutup buku. Kenapa aturannya tidak langsung disampaikan.

Pasal 6 ayat (1)

Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

Yang ndak kalah beratnya, saya harus pisah-pisahkan data yang sudah terlanjur ngumpul jadi satu. Kalau tahu dari awal saya bisa minta tolong bagian IT untuk membuat program yang terpisah. Data proyek di perusahaan ada 500 kontrak lebih

Pasal 8

Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.


Tiga Bulan Kemudian………………..

Bagaimana kerjaannya ?’’

Ya, sekarang aturannya sudah jelas, tapi susah sekali melakukannya, saya harus datangi satu-satu pengguna jasa. Untuk melakukan pemindahbukuan.

Kalau sedikit ndak masalah. Pengguna jasa di perusahaanku puluhan, sedangkan dalam aturan saya hanya punya waktu kurang dari satu bulan untuk memenuhi kekurangan pembayaran pajak.

Belum lagi, kalau harus bicara dengan orang yang kurang mengerti pajak. Ada yang bilang mau tanya konsultannya dulu…, sudah terlanjur lapor…, ah macem-macem.

Ada lagi yang kontraknya sebelum januari 2008, karena ada aturan baru lansung di potong final karena kurang memahami aturan yang baru.

Bagi pemotong, memang kalau salah mengklasifiaksikan ndak begitu jadi masalah yang penting sudah potong, tapi bagi yang dipotong itu merupakan pemenuhan kewajiban pajak.

Semoga nanti kalau diperiksa fiskus mau memaklumi, pajak-pajak yang seharusnya tidak final tapi bukti potongnya masih PPh 23 bisa dianggap perusahaan sudah memenuhi kebutuhan pajak.

PMK Nomor 187/PMK.03./2008 Tanggal 20 Nopember 2008,

Pasal 8 ayat (4) “Pajak pengasilan yang telah dipotong atau disetor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 …….” . ketentuan ini berlaku dengan syarat pemotongan atas usaha jasa konstruksi berdasar kontrak yang ditandatangani sejak 1 Januari 2008 dan merupakan pembayaran kontrak/bagian kontrak yang dilakukan sampai akhir terbitnya Peraturan Menteri Keuangan ini (20 Nopember 2008). Sedangkan ayat (5) menyatakan “Dalam hal terdapat kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final setelah dilakukan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kekurangan pembayaran tersebut wajib disetor Penyedia Jasa paling lama tanggal 15 Desember 2008.”

Hari ini (4 Juni 2009) terbit :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILANATAS PENGHASILAN
DARI USAHA JASA KONSTRUKSI


Yang ringkasan isinya kurang lebih :

Pasal 10 diubah menjadi

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi ditentukan sebagai berikut:

  • dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
  • dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Dalam Peraturan tersebut pada penjelsannya di berikan contoh sebagai berikut :

Pengenaan Pajak Penghasilan, untuk kontrak yang ditandatangani tanggal 1 Januari 2008 untuk pekerjaan senilai Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah):

  • Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap I ditandatangani tanggal 15 Mei 2008 dan pembayaran kontrak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tanggal 20 Juni 2008, maka pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10;
  • Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap II ditandatangani tanggal 15 Nopember 2008 dan pembayaran kontrak sebesar Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) tanggal 10 Januari 2009, maka pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10;
  • Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap III ditandatangani tanggal 15 April 2009 dan pembayaran kontrak sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) tanggal 20 Mei 2009, maka pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
  • Berita acara serah terima penyerahan pekerjaan tersebut merupakan dokumen yang ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa yang memuat tingkat persentase penyelesaian pekerjaan yang sudah dicapai oleh Penyedia Jasa serta nilai penyelesaian pekerjaan.

Dalam hati, apa ya ? yang akan dilakukan teman saya nanti?’’

  1. Apakah dia akan melakukan revisi SPT PPh Badan Tahun 2008 yang telah dilaporkannya per april kemarin ?
  2. Dia bilang, walaupun terbit peraturan pajak yang bersifat final, perusahaannya masih restitusi (banyak pendapatan yang bukan dari usaha jasa kontruksi). Apakah dia akan sanggup melakukan pemindahbukuan ulang dalam waktu singkat atas potongan yang dilakukan pihak lain yang bersifat final, untuk dijadikan Potongan PPh 23 (tidak final) untuk proyek yang diperoleh sebelum bulan agustus 2008 dan penyerahaanya sebelum 31 Desember 2008, sebelum pemeriksa pajak tiba ?

Jawabnya ….

Dia harus melakukan semuanya, kalau laba bersih perusahaanya mau meningkat dan menarik kembali uang pembayaran pajak yang terlalu besar ke Negara.

Semoga Pemeriksa (fiskus) mau menyadari, ruwetnya pemenuhan kewajiban pajak untuk usaha jasa kontruksi tahun ini

PPh atas Penghasilan Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final

Dasar Hukum
  1. PP 29 TAHUN 1996 yang telah dubah terakhir dengan PP-5 TAHUN 2002 tentang Pembayaran PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  2. KMK-394/KMK.04/1996 yang telah diubah terakhir dengan KMK-120/KMK.03/2002 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  3. KEP - 227/PJ./2002 Tentang tatacara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  4. KEP - 50/PJ./1996 Tentang Penunjukan WP OP dalam negeri tertentu sebagai pemotong PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Pengertian

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Objek dan tariff

Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final


Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua juml ah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan

Pemotong PPh

  1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa.
  2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain yang tersebut pada butir (1) maka Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh p ihak yang menyewakan.

orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

  • Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tsb wajib memotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

Saat terutang

PPh atas Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan tsb terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa

Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan persewaan tanah dan/atau bangunan tsb pihak penyewa wajib:

  • Memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi;
  • Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
  • Melaporkan pemotongan da n penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

Dalam melaksanakan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan atas persewaan tanah dan/atau bangunan tsb, pihak yang menyewakan wajib:

  • Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
  • Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

Lain-Lain

Dalam pembukuan Wajib Pajak ya ng menyewakan, wajib dipisahkan antara penghasilan dan biaya yang berhubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan dengan penghasilan dan biaya lainnya.

Bagi Wajib Pajak yang semata-mata bergerak di bidang usaha persewaan tanah dan atau bangunan tidak diwajibkan membayar Pajak Penghasilan Pasal 25.

oleh : Seputar pelayanan pajak

Istri Punya NPWP sendiri

Hari ini saya mendapat pertanyaan dari seorang teman, “untung mana ya ?” …”NPWP istri dibuat sendiri sama di gabung sama suami ?”. Dia minta kalau bisa penjelasannya lewat tulisan, karena mau dibuat diskusi dengan istrinya di rumah. Karena lagi malas nulis saya browsing saja di internet dengan maksud ketemu makalah yang nulis masalah tersebut.

Kurang lebih Ini yang saya dapat :

Pada UU lama yaitu (UU No. 7 Th.1983) memang diterangkan bahwa :“Kewajiban perpajakan bagi wanita menikah tanpa perjanjian pemisahan harta dan penghasilan pada dasarnya menjadi satu dengan kewajiban pajak sang suami. Dengan kata lain, wanita menikah dalam kategori ini tidak perlu memiliki NPWP sendiri. Kewajiban PPh lainnya pun menjadi tanggungjawab suami sebagai kepala keluarga.”

Dan dalam UU PPh baru (Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008) :
Pasal 8 ayat 1 (awal) : “Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin …. dianggap sebagai penghasilan suaminya

Namun masih dalam ayat 1 : “kecuali jika penghasilan wanita yang telah kawin tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya” (dengan kata lain : jika penghasilan wanita kawin hanya dari 1 pemberi kerja, maka dianggap pengghasilan Istri Pribadi atau dikenai pajak secara terpisah dg suami)

Dan pada Pasal 8 ayat 2 butir c, ada tambahan bahwa “ Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah jika dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.” (Dengan kata lain :“Istri dibolehkan memiliki NPWP sendiri “walaupun suami istri tidak hidup berpisah atau tidak ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan” Jadi dalam keluarga yang “normal” pun istri boleh memiliki NPWP sendiri dan terpisah dengan suaminya. Perhitungan PPh terutang bagi suami istri sebanding dengan besarnya penghasilan neto mereka. Jadi, perhitungannya sama persis dengan perhitungan bagi suami istri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.)

Nah, pada kesempatan ini saya coba memberi contoh perhitungan terkait untung rugi NPWP Istri Gabung atau Pisah dg Suami : (menggunakan Undang-undang perpajakan terbaru yaitu UU Nomor 36 Tahun 2008 yang selanjutnya disingkat menjadi UU PPh.)
Pasal 17 a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
  • 5% : sampai dengan Rp50.000.000,00
  • 15% : di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp250.000.000,00
  • dst


Pasal 7 :Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2009 adalah sebagi berikut :

  • Rp15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak
  • Rp1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
  • Rp15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung, Rp1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota kelauarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenugnya, maksimal tiga orang untuk tiap keluarga

Contoh perhitungan :

Jika Total Gaji Gabungan Suami Istri dan telah dikurangi PTKP

Gabung :

  • Gaji suami : Rp. 40.000.000,-
  • Gaji Istri : 30.000.000,-
  • Total Gaji Gabungan = Rp. 70.0000,-
  • Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2009 adalah sebagi berikut :
    Rp15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak + Rp1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin +Rp15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung + Rp1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota kelauarga sedarah = Total PTKP = Rp. 34.320.000
  • PKP = Rp.70.000.000 - 34.320.000 = Rp. 35.680.000,-

PPH 21 = 5% x Rp. 35.680.000,- = Rp. 1.784.000,-

Pisah :

  • Gaji suami : Rp. 40.000.000,- ; Total PTKP Suami = Rp.18.480.000
  • PKP Suami = Rp.40.000.000 - 18.480.000 = Rp. 21.520.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp.21.520.000,-) = Rp. 1.076.000,-
  • Gaji Istri : Rp. 30.000.000,- ; PTKP Istri = Rp15.840.000,-
  • PKP Istri = Rp.30.000.000 – 15.840.000 = Rp. 14.160.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. Rp. 14.160.000,-) = Rp. 708.000
  • Total = Rp. 1.076.000,- + Rp. 708.000 = Rp. 1.784.000

ternyata sama saja ..

Tapi..bagimana jika Total Gaji Gabungan yang telah dikurangi PTKP > 50 juta ?? Berikut analoginya :

Pisah :

  • Gaji suami : Rp. 65.000.000,- ; Total PTKP Suami = Rp.18.480.000
  • PKP Suami = Rp.65.000.000 - 18.480.000 = Rp. 46.520.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. 46.520.000,-) = Rp. 2.326.000,-
  • Gaji Istri : Rp. 30.000.000,- ;PTKP Istri = Rp15.840.000,-
  • PKP Istri = Rp.30.000.000 – 15.840.000 = Rp. 14.160.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. Rp. 14.160.000,-) = Rp. 708.000,-
  • Total = Rp.2.326.000,-+ Rp. 708.000 = Rp. 3.034.000,-


Gabung

  • Gaji suami : Rp. 65.000.000,-
  • Gaji Istri : Rp. 30.000.000,-
  • Total Gaji Gabungan = Rp. 95.0000,-
  • Total PTKP = Rp. 34.320.000
  • PKP = Rp.95.000.000 - 34.320.000 = Rp. 60.680.000,-
  • PPH 21 = (5% x Rp. 50.000.000,-) + (15% x Rp. 10.680.000,-) = 2.500.000 + 1.602.000 = Rp. 4.102.000
  • atau ada Kurang Bayar = Rp. 1.068.000,- (saat pelaporan SPT nambah bayar pajak)


So silahkan dipikir2 sendiri ya rekan2..Sy pribadi sih bersyukur krn ada UU PPH yg baru ini ..krn Istri diberi kebebasan memilih apakah mau gabung NPWP atau tidak dg suami (tanpa harus berpisah/bercerai atau harus membuat surat pisah harta)

Itulah cuplikan tulisan yang saya dapat dari sebuah blog,

karena Dia pakai UU Nomor 36 tahun 2008, ya saya coba buka sendiri di pasal 8 seperti yang digunakan rujukan untuk nulis artikel tersebut. Sudah jadi kebisaan saya selalu mencoba membaca sendiri dari sumbernya, lalu saya buka lagi buku UU tahun 2008 pasal 8. ternyata yang menjadi rujukan baru ayat (1) dan (2).

Kemudian saya teruskan baca ayat (3) bunyinya : “Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.”

jadi, menurut saya perhitungan yang disampaikan diatas kalau penghasilan lebih dari 50 jt, dengan pisah NPWP akan lebih hemat, sangat berisiko bila nanti diperiksa oleh fiskus yang ngotot pakai pasal 8 ayat 3 UU no. 36 tahun 2008. dengan mengitung pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri. Yang akhirnya mengakibatkan kurang bayar plus denda yang harus di tanggung karena kurang bayar pajak.

Sekalian saya tulis disini ayat (4) bunyinya : “ Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya”.

Nah ini baru lengkap, telah kita baca semua ayat yang ada di UU No.36 tahun 2008 pasal 8. tak ada bedanya istri punya atau tidak NPWP sendiri. yang ada tambah repot. semoga bermanfaat.